Itu sore yang
basah dan lembab di Ubud. Gerimis yang panjang, jadi penyebabnya. Sudah mulai
sejak siang. Tempat duduk yang disediakan di ruang dalam Pondok Kelapa penuh
terisi, begitu juga meja dan bangku di pelataran luar. Tidak penuh benar
sebenarnya di pelataran itu, tapi karena bangku kayu di situ diatur di sekitar
meja panjang, rasanya akan menjadi pengusik kalau memaksa duduk di meja yang
terisi. Meski bangku kayu panjang itu sendiri masih lapang untuk diduduki oleh
beberapa orang lagi.
Suaranya sampai
ke bangku luar, tempat saya duduk, menikmati makan siang yang sudah kasip
waktu. Saya mengikuti pembacaannya. Gerimis terus jatuh. Suaranya hangat.
Sambil terus menyantap makan sore saya menyimak dan perlahan-lahan hidangan
ayam lalap itu makin tidak semenarik cerita yang sedang dibacakannya. Tentang
seekor kucing. Kucing yang pandangan politisnya jelas, keinginan politiknya
juga jelas. Kemudian saya tahu judul cerita itu The Painted Cat.
Dingin dan lembab
di teras dan pekarangan, dibuatnya hangat dengan cerita tentang kucing. Saya
terkesan dengan cerita itu. Suka, sederhananya. Kisah itu lucu. Ia membuat kami
yang mendengar tertawa. Selama pembacaan, kami tidak lagi hanya mendengar, tapi
dengan kata-kata yang dituturkannya, ia mencipta imajinasi dan menyeret saya
dalam imajinasi yang sama dengan pendengar lain pada bagian-bagian tertentu.
Dia bukan sekedar membaca, ia bercerita dan saya menonton sebuah kisah.
Ketertarikan saya
tumbuh. Siapa dia?
Tentu saja di
Buku Program Ubud Writers Festival saya dapat menemukan
nama dan sedikit pengantar tentang siapa dia, tapi tiba-tiba itu terasa tidak
cukup. Saya memutuskan untuk mengetahui lebih banyak siapa dia dari orang itu
sendiri.
Dari sejumlah
nama dalam buku program itu, ada seorang yang tidak populer, tapi kekuatan
kisah dan kemampuan menyajikannya sungguh memikat penonton.
Kami berkenalan.
Uthaya Sankar, namanya. Satu demi satu informasi jatuh. Saya memungutnya. Tiap
kali memungut, ketika menegakkan badan, sosok “kecil” berkacamata John Lennon
ini semakin membuat saya menaruh hormat. Ketika di ujung sore itu saya kemudian
mendapatkan kumpulan cerpennya, dengan tanda tangan, saya telah jadi fansnya.
Makan siang esok harinya, disetujui jadi teman di Facebook kemudian, membuat saya sah mengaku: temannya.
Hingga sekarang
saya masih memungut informasi tentang apa yang dikerjakannya.
Tulisan-tulisannya hadir nyaris setiap minggu di media mainstream
Malaysia.
Teman saya,
Uthaya akan datang di Makassar International Writers Festival (MIWF), 13-17
Juni 2012. Kenapa Uthaya? Sederhana saja: karena dia teman saya. Teman yang
saya temukan dalam sebuah kesempatan bernuansa festival penulis. Saya iingin
mengajakmu mengalami sendiri, bagaimana cerita yang dibacakannya membuat sore
gerimis yang lembab dan sembab, terasa hangat di Pondok Kelapa, Ubud. Dengan
Uthaya kita bisa mendengar tentang perjuang para penulis bukan Melayu di kancah
sastra Melayu, tentang royality,
tentang idealisme Bahasa dan Negara. Pokoknya, Uthaya jenis teman minum teh
yang menyenangkan.
Di MIWF 2012,
Uthaya hanya salah satu dari sejumlah penulis lain yang akan datang, membawa
kenangan mereka, dan kita diijinkan mencicipinya. Seperti pomeo plesetan: “kalau
bisa dibuat susah kenapa mesti mudah?”
Maka mendorongmu
ikut MIWF 2012 juga bisa disusah-susahkan. Tapi dari saya: MIWF memberi peluang
yang sama buat kita semua - para penikmat sastra, penulis setengah hati seperti
saya, bertemu dengan penikmat sastra lain, para penulis lain. Menemukan teman.
Menemukan teman
yang menulis, seperti menemukan jendela yang menguak lebih luas dari jangkau
pandang kita, atau cermin yang dapat berbicara. Bertemu dengan teman yang
menginspirasi, seperti menemukan harta terpendam. Berteman dengan penulis
adalah keajaiban (harta terpendam) itu sendiri.
Yuk, sempatkan
ikut berpartisipasi di MIWF 2012, yang diselenggarakan oleh RUMATA' - Rumah
Budaya di Makassar. Dalam seribu kemungkinan menjenguk kenangan lewat berbagai
bentuk karya sastra dan kelompok-kelompok bertukar pengalaman juga
bincang-bincang santai, intim: temuilah teman saya, Uthaya Sankar, dan para
penulis lain. Sungguh akan menyenangkan: seperti memecah semangka di terik
siang.
[Catatan Luna
Vidya di Facebook pada 9 April 2012. Dimuatkan sepenuhnya dalam Bahasa Indonesia di blog ini dengan
izin penulis.]