17 May 2012

Catatan Selepas Gerimis


Itu sore yang basah dan lembab di Ubud. Gerimis yang panjang, jadi penyebabnya. Sudah mulai sejak siang. Tempat duduk yang disediakan di ruang dalam Pondok Kelapa penuh terisi, begitu juga meja dan bangku di pelataran luar. Tidak penuh benar sebenarnya di pelataran itu, tapi karena bangku kayu di situ diatur di sekitar meja panjang, rasanya akan menjadi pengusik kalau memaksa duduk di meja yang terisi. Meski bangku kayu panjang itu sendiri masih lapang untuk diduduki oleh beberapa orang lagi.

Suaranya sampai ke bangku luar, tempat saya duduk, menikmati makan siang yang sudah kasip waktu. Saya mengikuti pembacaannya. Gerimis terus jatuh. Suaranya hangat. Sambil terus menyantap makan sore saya menyimak dan perlahan-lahan hidangan ayam lalap itu makin tidak semenarik cerita yang sedang dibacakannya. Tentang seekor kucing. Kucing yang pandangan politisnya jelas, keinginan politiknya juga jelas. Kemudian saya tahu judul cerita itu The Painted Cat.

Dingin dan lembab di teras dan pekarangan, dibuatnya hangat dengan cerita tentang kucing. Saya terkesan dengan cerita itu. Suka, sederhananya. Kisah itu lucu. Ia membuat kami yang mendengar tertawa. Selama pembacaan, kami tidak lagi hanya mendengar, tapi dengan kata-kata yang dituturkannya, ia mencipta imajinasi dan menyeret saya dalam imajinasi yang sama dengan pendengar lain pada bagian-bagian tertentu. Dia bukan sekedar membaca, ia bercerita dan saya menonton sebuah kisah.

Ketertarikan saya tumbuh. Siapa dia?

Tentu saja di Buku Program Ubud Writers Festival saya dapat menemukan nama dan sedikit pengantar tentang siapa dia, tapi tiba-tiba itu terasa tidak cukup. Saya memutuskan untuk mengetahui lebih banyak siapa dia dari orang itu sendiri.

Dari sejumlah nama dalam buku program itu, ada seorang yang tidak populer, tapi kekuatan kisah dan kemampuan menyajikannya sungguh memikat penonton.

Kami berkenalan. Uthaya Sankar, namanya. Satu demi satu informasi jatuh. Saya memungutnya. Tiap kali memungut, ketika menegakkan badan, sosok “kecil” berkacamata John Lennon ini semakin membuat saya menaruh hormat. Ketika di ujung sore itu saya kemudian mendapatkan kumpulan cerpennya, dengan tanda tangan, saya telah jadi fansnya. Makan siang esok harinya, disetujui jadi teman di Facebook kemudian, membuat saya sah mengaku: temannya.

Hingga sekarang saya masih memungut informasi tentang apa yang dikerjakannya. Tulisan-tulisannya hadir nyaris setiap minggu di media mainstream Malaysia.

Teman saya, Uthaya akan datang di Makassar International Writers Festival (MIWF), 13-17 Juni 2012. Kenapa Uthaya? Sederhana saja: karena dia teman saya. Teman yang saya temukan dalam sebuah kesempatan bernuansa festival penulis. Saya iingin mengajakmu mengalami sendiri, bagaimana cerita yang dibacakannya membuat sore gerimis yang lembab dan sembab, terasa hangat di Pondok Kelapa, Ubud. Dengan Uthaya kita bisa mendengar tentang perjuang para penulis bukan Melayu di kancah sastra Melayu, tentang royality, tentang idealisme Bahasa dan Negara. Pokoknya, Uthaya jenis teman minum teh yang menyenangkan.

Di MIWF 2012, Uthaya hanya salah satu dari sejumlah penulis lain yang akan datang, membawa kenangan mereka, dan kita diijinkan mencicipinya. Seperti pomeo plesetan: “kalau bisa dibuat susah kenapa mesti mudah?”

Maka mendorongmu ikut MIWF 2012 juga bisa disusah-susahkan. Tapi dari saya: MIWF memberi peluang yang sama buat kita semua - para penikmat sastra, penulis setengah hati seperti saya, bertemu dengan penikmat sastra lain, para penulis lain. Menemukan teman.

Menemukan teman yang menulis, seperti menemukan jendela yang menguak lebih luas dari jangkau pandang kita, atau cermin yang dapat berbicara. Bertemu dengan teman yang menginspirasi, seperti menemukan harta terpendam. Berteman dengan penulis adalah keajaiban (harta terpendam) itu sendiri.

Yuk, sempatkan ikut berpartisipasi di MIWF 2012, yang diselenggarakan oleh RUMATA' - Rumah Budaya di Makassar. Dalam seribu kemungkinan menjenguk kenangan lewat berbagai bentuk karya sastra dan kelompok-kelompok bertukar pengalaman juga bincang-bincang santai, intim: temuilah teman saya, Uthaya Sankar, dan para penulis lain. Sungguh akan menyenangkan: seperti memecah semangka di terik siang.

[Catatan Luna Vidya di Facebook pada 9 April 2012. Dimuatkan sepenuhnya dalam Bahasa Indonesia di blog ini dengan izin penulis.]